Ibuku Sayang
Posted by meisusilo pada 20 Maret 2009
Pagi itu matahari telah beranjak tinggi dari peraduannya, dan Ibu yang
begitu anggun menjumpai aku di depan pintu. bergegas aku rengkuh
punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rinduku pada beliau tidak
bertepuk sebelah tangan, Ibu juga mendaratkan kecupan hangat di
ubun-ubun ini, terasa hangat mengalir di lubuk hati. “Alhamdulillah,
kamu sudah pulang nak” itu ucapan pertama beliau. Begitu masuk ke dalam
rumah, aku mendapati ruangan yang sungguh bersih. Tenang hati ini, sudah
sangat lama aku meninggalkan tempat ini.
Menjelang sore
“Nak tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih” bergegas saya melaksanakan permintaan ibu untuk pancinya. Tidak lama kemudian,
“Eh, tolongin Ibu bawa ember ini ke teras, Ibu mau menyiram bunga”. Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Segera saja aku bisa memindahkannya kehalaman depan dengan mudahnya. Kupandangi bunga-bunga yang tumbuh disitu, Subur dan terawat. Sedari dulu Ibu suka sekali menanam bunga. Kembali ibu memintaku melakukan sesuatu “Nak, Ibu baru saja mencuci, peras dulu, abis itu jemur yah” pinta Ibu.
“Eh, tolongin Ibu bawa ember ini ke teras, Ibu mau menyiram bunga”. Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Segera saja aku bisa memindahkannya kehalaman depan dengan mudahnya. Kupandangi bunga-bunga yang tumbuh disitu, Subur dan terawat. Sedari dulu Ibu suka sekali menanam bunga. Kembali ibu memintaku melakukan sesuatu “Nak, Ibu baru saja mencuci, peras dulu, abis itu jemur yah” pinta Ibu.
“Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam” sekilas aku
memandang wajah beliau yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu
begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam
segala hal.
Sore harinya ketika sedang menemaninya tilawah
selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk menelusuri tiap
huruf al-qur’an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Tangan itu
terus bergetar. Aku berpaling, menyembunyikan bening kristal yang
tiba-tiba muncul di kelopak mata ini. kesedihan itu muncul seketika
entahlah, tiba-tiba aku merasa sangat rindu pada ibu.
“Dingin bu..” bisikku manja sambil beringsut
membenamkan kepala di pangkuan beliau. Ibu masih terus tilawah, sedang
tangan kirinya membelai hangat kepalaku. Aku memeluknya, merengkuh
banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.
Adzan isya berkumandang memecah keheningan, Ibu
berdiri di sampingku, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi
udara mushala kecil rumah. Usai shalat, Aku menunggunya membaca wirid,
dan seperti tadi kupandangi lagi tangannya yang terus bergetar. “Duh
Allah, Sayangi Ibuku” spontan aku terenyuh memohon kepada Alloh. “Nak..”
Panggil ibu lembut membuyarkan lamunan, kini tangan kanan beliau
terjulur di hadapanku. Kebiasaan saat selesai shalat, kurengkuh tangan
berkah itu dan menciumnya berkali. tiba-tiba aku merasakan ada yang
salah dengan tangan ibu “Tangan ibu kenapa?” tanyaku pelan. Ibu hanya
tersenyum hangat.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian
gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Sejenak kupandangi
langit dari teras depan rumah. Oh bulan yang merekah merah, menambah
kerinduanku pada Ibu dan rumah ini, terasa syahdu malam itu.
Malam perlahan beranjak menjauh. Dalam hening itu,
kubayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya?
Dan mengapakah, aku seperti melayang. Telah banyak hal yang
dipersembahkan tangan suci beliau untukku. Tangan yang tak pernah
mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalanku saat kecil
hingga beranjak dewasa. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan
membetulkan rambut ketika aku tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu
dan selalu mengelus lembut ketika aku mencari kekuatan dipangkuan beliau
ketika hati ini bergemuruh gundah gulana. Tangan yang selalu menengadah
ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang aku jalani. Tangan
yang sama yang selalu membuatkan pernak-pernik bunga dari pita-pita
berwarna dan menyimpannya di meja belajarku ketika aku masih kecil, kata
ibu waktu itu biar aku lebih semangat belajar. Dan ketika aku beranjak
pergi untuk menuntut ilmu dan harus tinggal jauh darinya, pesannya
selalu saja datang padaku. Dalam pesannya, Ibu selalu menyisipkan puisi.
Ada sebuah puisinya yang sangat aku sukai. Ibu memang suka menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam, Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana, Bukan!, kau lebih dari itu,
kau adalah benderang matahari di tiap waktu, Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta, Itu saja.
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana, Bukan!, kau lebih dari itu,
kau adalah benderang matahari di tiap waktu, Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta, Itu saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Alloh. Itu
yang aku baca dari sebuah buku. Jika aku renungkan, memang demikian.
Tangan seorang ibu adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang,
kesabaran, cinta, dan ketulusan..
Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk sarapan?
Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika
mendoakan anaknya agar diberi Alloh banyak kemudahan dalam menapaki
hidup?
Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita?
Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?..
Pernahkah. .?
Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, Aku masih
merajuknya “Bu, kembalilah ke rumah,”. “Ah, Ada ayah disini. Dia menjaga
Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan
lebih senang” Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti dulu saat aku
melepasnya pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada
kehendak Alloh.
Sebelum pergi, kurengkuh kembali punggung tangan
beliau selagi sempat, kureguk seluruh keikhlasan yang pernah
dipersembahkannya untukku. Selagi sisa waktu yang kumiliki masih
terhampar, kuciumi tangganya penuh takzim. Aku takut, sungguh takut, tak
dapati lagi kesempatan meraih tangan beliau, meletakannya dikeningku.
Entahlah kepulanganku kali ini terasa lain
Dan ternyata semua pertanyaan dan keherananku
terjawab sudah. Semuanya sudah berakhir. Perjalanan hidup ibu sudah
ditutup hanya kenangan-kenangan itu yang tertinggal.
Ibuku sayang….
Aku tau dari sana kau juga membaca tulisan ini dan
menemukan apa yang tidak tersurat sebagaimana cerita-cerita lalu yang
aku keluhkan padamu disetiap kepulanganku. Aku berharap bisa menemukan
wajahmu disetiap ruang dalam mimpiku.
Ibuku sayang…
Terimakasih atas segala cinta yang telah ibu berikan padaku selama ini. tak perlu khawatir bu, kalaupun yang ibu maksud adalah kebahagiaanku, aku bahagia telah merasakan kebahagiaan itu. Aku bahagia dengan hidupku selama ini aku menemukan cinta itu darimu Bu. Semua tak akan sama sejak kepergiannmu.
Terimakasih atas segala cinta yang telah ibu berikan padaku selama ini. tak perlu khawatir bu, kalaupun yang ibu maksud adalah kebahagiaanku, aku bahagia telah merasakan kebahagiaan itu. Aku bahagia dengan hidupku selama ini aku menemukan cinta itu darimu Bu. Semua tak akan sama sejak kepergiannmu.
I LOVE YOU MOM...
* Apabila anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali
tiga yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang
dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak yang mendoakannya. (HR.
Muslim)
* “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu
bapakmu dgn sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara kedua atau
kedua-dua sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yg mulia.” .
* Dari Abu Hurairah dia berkata telah datang kepada
Rasulullah saw seorang laki-laki lalu bertanya: “Wahai Rasulullah
siapakah yg lebih berhak untuk saya pergauli dengan baik?” Beliau
menjawab “Ibumu” dia bertanya lagi “Kemudian siapa?” Beliau menjawab
“Ibumu” dia bertanya lagi “Kemudian siapa?” Beliau menjawab “Ibumu” dia
bertanya lagi “Kemudian siapa?” Beliau menjawab “Ayahmu”.
Allahummaghfirlanaa wali-waalidainaa warhamhumaa kamaa rabbayanii
shaghiiraa. Laa ilaaha illaa annta subhaanaka inni kunntu
minazhahaalimin. Laahaula walaa quwwata illaa billaahil ‘Aliyyil ‘Adhiim
Amin..
Referensi : disadur ulang dari Dear Ibuku Sayang
Technorati Tags: Kisah Teladan,Hikmah
0 komentar:
Posting Komentar